Kisah dan Sejarah Para Sahabat Nabi, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in serta Para Ulama-Ulama Sholih Lainnya

Abu Sufyan bin Harits Bersama Putranya Mengejar Ketertinggalan.

Abu Sufyan bin Harits Bersama Putranya Mengejar Ketertinggalan.

Malik bin ‘Auf An-Nashari mengumpulkan semua kaum laki-laki dewasa kabilah Hawazin dan Tsaqif untuk bersipa-siap mengahadapi pasukan Islam, demi mendengar Mekah telah ditaklukan. Diperintahkan pasukannya untuk membawa semua harta dan anak-anak mereka. Malik ingin semua pasukan mengerti bahwa peperangan yang akan segera mereka hadapi adalah peperangan mati-matian, pertempuran habis-habisan. Malik mengatur strategi. Ditempatkannya para pemanah dan pasukan pilihan di tempat-tempat tersembunyi, dicelah-celah bukit, supaya bisa menyerang pasukan Islam tanpa mereka sadari dan mereka mendapati kesulitan untuk membalasnya.

Pasukan Islam yang terdiri dari 10.000 orang sahabat Muhajirin dan Anshar serta 2.000 orang Quraisy yang baru saja masuk Islam berangkat dari Mekah menuju medan peperangan. Ini adalah peperangan pertama yang melibatkan jumlah pasukan diatas 10.000 personil, jumlah yang banyak kala itu.

Allah SWT menguji orang-orang yang beriman dengan kekalahan. Pasukan mereka porakporanda. Mereka sama sekali tidak menduga serangan mendadak yang dilancarkan musuh dari arah yang tak terduga. Jumlah mereka yang banyak telah melalaikan mereka. Pada saat yang sangat genting itu masih ada beberapa gelintir sahabat yang mampu berfikir jernih dan mengendalikan diri. Diantara mereka terdapat Abu Sufyan bin Harits (bukan Abu Sufyan bin Harb, ayah Mu’awiyah) dan putra kesayangannya. Keduanya baru saja mengikrarkan komitmen kepada Islam.

Hari itu hati Abu Sufyan bin Harits sudah bulat. Ia panggil putra kesayangannya, Ja’far, dan dimintanya untuk segera berkemas-kemas. Dikatakannya bahwa mereka akan berpergian jauh. Menuju Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah di hadapan utusan-Nya, Rasulullah SAW.

Sesampainya di Abwa’ terlihat olehnya barisan depan dari satu pasukan besar. Pasukan yang ternyata dipimpin langsung oleh Rasulullah untuk membebaskan Mekah dari gelap nya kemusyrikan dan gulitanya kejahiliyahan. Abu Sufyan kebingungan tak tahu harus berbuat apa. Lebih dari 20 tahun ia memusuhi Islam. Berkali-kali pula ia turut serta dalam peperangan melawan pasukan Islam. Bisa saja begitu terlihat oleh mereka lehernya segera ditebas, kepalanya dipisahkan dari badannya. Maka, Abu Sufyan menyamar dan menyembunyikan identitasnya. Dengan menggandeng tangan Ja’far, ia berjalan menjauh dari jalan yang akan dilewati oleh pasukan itu sambil sesekali menoleh kearah mereka. Begitu dilihatnya Rasulullah berhenti disuatu tempat, Abu Sufyan yang masih menyamar bersama Ja’far bergegas menghadap beliau. Dihadapan beliau, dibukanya kain yang digunakannya untuk menyamar dan ia pun menjatuhkan diri. Rasulullah memalingkan muka. Abu Sufyan pun menjatuhkan diri di hadapan beliau dari arah yang lain. Namun, Rasulullah tetap memalingkan muka beliau.

Tubuh Abu Sufyan bergetar. Hanya ada satu cara lagi yang terlintas dibenaknya. Ia bisikan sesuatu kepada putranya. Dan tiba-tiba, bersama Ja’far ia berseru, “Asyhadu, saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berkah diibadahi selain Allah dan akupun bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Setelah mendengar dua kalimat syahadat diucapkan oleh Abu Sufyan dan putranya, Rasulullah SAW menerima mereka dengan baik dan memerintahkan Ali bin Abu Thalib untuk mengajarkan Islam kepada mereka berdua.

Abu Sufyan dan Ja’far serius belajar Islam. Keduanya ingin menebus kesalahan yang telah lalu dan mengejar ketertinggalan mereka. Keduanya berjanji untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan membela Islam jika kesempatan itu ada.

Dan saat pasukan Islam terpukul oleh pasukan musyrik Hawazin dan Tsaqif, saat Rasulullah ditinggalkan oleh banyak sahabat yang hendak menyelamatkan diri, keduanya yakin bahwa itu adalah kesempatan bagi keduanya. Sambil memegang tali kekang kuda Rasulullah di tangan kiri Abu Sufyan terus mengayun-ayunkan pedang dengan tangan kanannya menebas siapa saja yang hendak mendekat dan mencelakai Rasulullah. Ia telah berazam untuk menjadi perisai hidup dari beliau. Ia rela mati.

Keadaan berbalik. Setelah Rasulullah berhasil mengumpulkan kembali para sahabat yang bercerai berai, serangan pun dilakukan dengan lebih baik. Dan tentu saja, memohon pertolongan kepada Allah SWT. Pasukan Hawazin dan Tsaqif dapat ditaklukan.

Saat suasana membaik itulah Rasulullah baru benar-benar menyadari bahwa ada seseorang yang sedari awal peperangan tak selangkah pun mundur. Ia tetap berada ditempatnya, memegang tali kekang kuda yang beliau tunggangi sambil memainkan pedang dengan lihainya. Rasulullah menatap orang itu dan bersabda,”Siapakah ini…? Oh, rupanya saudaraku, Abu Sufyan bin Harits!”.

Hati Abu Sufyan terbang. Kakinya serasa tak lagi menginjak bumi. Kata-kata Nabi yang baru saja di dengarnya menyiratkan keridhoan beliau kepadanya. Tak ayal lagi, air mata dingin suka cita melelehi pipinya. Dan dipelukcium nya bagian tubuh Nabi yang bisa direngkuhnya.

Sampai akhir hayatnya, Abu Sufyan bin Harits yang saudara sepersusuan Nabi tak pernah menghianati ikrarnya. Ia pernah tertinggal dan tak ingin tertinggal lagi.

(Azm/ Ar-Risalah edisi 63 hal.35)

Share:

No comments:

Post a Comment

Postingan Populer

Recent Posts